Beranda | Artikel
Fatwa Ulama: Maksud Pertengahan (Wasathiyyah) dalam Beragama
Senin, 25 September 2023

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

 

Pertanyaan:

Apakah yang dimaksud dengan pertengahan (wasathiyyah) dalam beragama?

Jawaban:

Yang dimaksud dengan pertengahan (wasathiyyah) dalam beragama adalah seseorang tidak melampaui batas sehingga dia melewati batasan yang telah Allah tetapkan. Dia juga tidak meremehkan sehingga mengurangi dari batasan yang telah Allah tetapkan.

Sehingga pertengahan dalam beragama itu dicapai melalui berpegang teguh dengan sejarah perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan al-ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama adalah melampaui batas, dan at-taqshir adalah mengurangi (sehingga tidak mencapai batasan minimal dalam agama, pent.).

Contohnya, ada seseorang yang berkata, “Aku ingin salat malam dan tidak tidur setiap hari. Karena salat adalah ibadah yang paling utama. Sehingga aku senang menghidupkan seluruh malamku dengan ibadah salat.”

Maka, kita katakan, “Ini adalah berlebih-lebihan dalam agama Allah dan dia tidak berada di atas kebenaran.” Telah tejadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semisal contoh di atas. Sekelompok orang berkumpul, dan sebagian mereka berkata, “Aku akan salat dan tidak tidur.” Yang lain berkata, “Aku akan puasa dan tidak berbuka.” Orang ketiga berkata, “Aku tidak akan menikahi wanita.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengetahui perkataan itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri salat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka, siapa yang saja yang membenci sunahku, berarti bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401)

Mereka adalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berlepas diri dari mereka. Hal ini karena mereka membenci sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang di dalamnya diajarkan untuk berpuasa dan juga berbuka; salat dan juga tidur; dan juga menikahi wanita.

Sedangkan orang yang meremehkan (muqashshir) adalah orang yang mengatakan, “Aku tidak butuh ibadah sunah. Aku tidak mengerjakan ibadah sunah dan hanya mengerjakan ibadah yang wajib saja.” Terkadang, orang ini juga meremehkan (meninggalkan) ibadah wajib. Inilah orang yang meremehkan agama.

Sedangkan orang yang pertengahan adalah yang berjalan di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan khulafaur rasyidin radhiyallahu ‘anhum.

Contoh yang lain, ada tiga orang dan di hadapan mereka ada satu orang fasik. Salah seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak mengucapkan salam kepada orang fasik ini, aku meng-hajr-nya [1], aku menjauhinya, dan tidak berbicara kepadanya.”

Orang kedua berkata, “Aku berteman dengan orang fasik ini, mengucapkan salam kepadanya, aku bermanis muka (tersenyum) kepadanya, aku mengajaknya bersamaku, dan aku memenuhi undangannya. Bagiku, dia seperti orang saleh.”

Orang ketiga berkata, “Aku membenci orang fasik ini karena kefasikannya, dan aku mencintainya karena keimanannya. Aku tidak meng-hajr-nya, kecuali jika hajr tersebut merupakan sebab baginya untuk dapat memperbaiki diri. Apabila hajr tersebut tidak berdampak pada perbaikan dirinya, bahkan dapat menyebabkan bertambahnya kefasikannya, maka aku tidak meng-hajr-nya.”

Maka, kita katakan bahwa orang pertama adalah orang yang berlebih-lebihan (mufrith), termasuk dalam ghuluw dalam beragama; sedangkan orang kedua adalah orang yang meremehkan (mufarrith atau muqashshir); dan orang ketiga adalah orang yang pertengahan (mutawassith).

Demikianlah, kita katakan dalam seluruh ibadah dan muamalah kepada sesama makhluk. Di dalamnya ada sikap meremehkan, berlebih-lebihan, atau sikap pertengahan.

Baca juga: Sikap Pertengahan Umat Islam, Antara Yahudi Dan Nashrani

Contoh ketiga, seorang suami yang bagaikan tawanan istrinya, istrinya bebas berbuat sekehendak hatinya, suaminya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan dosa, juga tidak memotivasinya untuk berbuat kebaikan. Istrinya telah menguasai akal sang suami dan jadilah istrinya itu sebagai pemimpinnya.

Suami jenis yang lain (jenis kedua), dia zalim (kejam) terhadap istrinya, sombong dan sewenang-wenang kepada istrinya. Dia tidak peduli dengan keadaan istri, seakan-akan istrinya itu lebih hina daripada pembantu.

Sedangkan suami jenis ketiga adalah seorang suami yang pertengahan. Dia bermuamalah kepada istrinya sebagaimana yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya perintahkan,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 228)

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah. Jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan rida dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Suami yang terakhir ini (suami ketiga) adalah suami yang bersikap pertengahan. Suami kedua adalah suami yang berlebih-lebihan dalam bermuamalah kepada istri, sedangkan suami pertama adalah suami yang muqashshir.

Analogikanlah contoh-contoh ini dengan permasalahan muamalah dan ibadah yang lainnya.

Baca juga: Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah

***

@Rumah Kasongan, 24 Muharram 1445/ 11 Agustus 2023

Penerjemah: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/87028-pertengahan-dalam-beragama.html